Menuruti keinginan manusia tidak akan ada habisnya. Hari-hari ini makin banyak orang yang menyusahkan diri dengan berbagai-bagai keinginan.
Terlebih di jaman sosial media sekarang ini. Lihat yang lain liburan, ingin liburan. Lihat yang lain kuliah di luar negeri, ingin kuliah di luar negeri. Lihat yang lain menikah, ingin menikah.
Semua, semua, semua dapat dikabulkan
dapat dikabulkan dengan kantong ajaib
Pasti potongan lagu tersebut sudah sangat familiar. Diambil dari serial kartun yang usianya sudah puluhan tahun tapi masih tetap eksis. Yap, pasti sudah hafal juga dengan alurnya.
Nobita yang ingin ini itu selalu meminta tolong ke Doraemon. Kemudian Doraemon akan mengeluarkan sesuatu dari kantong ajaibnya untuk mengabulkan keinginan Nobita, semuanya.
Masalahnya hidup kita kan tidak seenak hidup Nobita yang punya Doraemon. Tapi keinginan kita bisa jadi sebanyak keinginan Nobita.
Bukan sebuah masalah kalau kita punya banyak keinginan.
Tapi kita harus sadar kalau Tuhan memberikan kita dua tangan.
Dua tangan itu adalah anugrah yang luar biasa. Sekaligus pengingat bahwa manusia, sehebat apapun, adalah manusia yang terbatas.
Kita harus sadar saat kita diberi sesuatu ada kalanya kita harus terlebih dahulu melepaskan apa yang ada di tangan kita agar kita dapat menerimanya.
Atau ketika kita dihadapkan dengan berbagai pilihan yang sama-sama enak, sama-sama menarik, sama-sama penting buat kita, ada kalanya kita tidak bisa memilikinya di saat yang bersamaan.
Kita perlu tahu mana keinginan kita yang esensial, mana yang komplementer. Mana yang mendesak, mana yang bisa ditunda.
Terdengar simpel, tapi toh nyatanya banyak orang yang melupakan tentang skala prioritas.
Contoh simpel saja, mungkin ada yang tidak setuju, kredit. Tentu tidak bisa dipukulrata tapi banyak yang memanfaatkan fasilitas kredit untuk memenuhi keinginannya. Beli dulu, bayarnya nyicil. Padahal kalau dilihat apa yang dikreditkan bukan sesuatu yang penting, handphone misalnya.
Yah itu menurut pendapat saya sih. Saya tahu banyak orang yang menganggap kredit adalah hal yang wajar/lumrah. Jangan salah, sistem kredit memang diperlukan untuk meringankan beban. Tapi kalau kredit sudah jadi budaya, apa-apa dikreditkan, saya tidak berpikir itu hal yang baik.
Well, sampai sekarang saya masih lebih suka kehilangan uang di depan tapi gaji tiap bulan masih utuh. Dibandingkan hilangnya dikit-dikit tapi rutin.
Kembali lagi ke masalah prioritas. Ini bukan hanya soal materi. Ada banyak hal yang memerlukan prioritas. Memilih pekerjaan misalnya. Atau memilih lokasi rumah. Atau memilih sekolah untuk anak.
Memaksakan untuk mencentang semua hal yang kita inginkan hanya akan menimbulkan frustasi di saat keadaannya memang tidak memungkinkan. Sedikit trade-off saya rasa tidak akan terlalu berbahaya. Sedikit fleksibilitas akan bisa mengurangi beban pikiran.
Keep it simple.
Terlebih di jaman sosial media sekarang ini. Lihat yang lain liburan, ingin liburan. Lihat yang lain kuliah di luar negeri, ingin kuliah di luar negeri. Lihat yang lain menikah, ingin menikah.
Semua, semua, semua dapat dikabulkan
dapat dikabulkan dengan kantong ajaib
Pasti potongan lagu tersebut sudah sangat familiar. Diambil dari serial kartun yang usianya sudah puluhan tahun tapi masih tetap eksis. Yap, pasti sudah hafal juga dengan alurnya.
Nobita yang ingin ini itu selalu meminta tolong ke Doraemon. Kemudian Doraemon akan mengeluarkan sesuatu dari kantong ajaibnya untuk mengabulkan keinginan Nobita, semuanya.
Masalahnya hidup kita kan tidak seenak hidup Nobita yang punya Doraemon. Tapi keinginan kita bisa jadi sebanyak keinginan Nobita.
Bukan sebuah masalah kalau kita punya banyak keinginan.
Tapi kita harus sadar kalau Tuhan memberikan kita dua tangan.
Dua tangan itu adalah anugrah yang luar biasa. Sekaligus pengingat bahwa manusia, sehebat apapun, adalah manusia yang terbatas.
Kita harus sadar saat kita diberi sesuatu ada kalanya kita harus terlebih dahulu melepaskan apa yang ada di tangan kita agar kita dapat menerimanya.
Atau ketika kita dihadapkan dengan berbagai pilihan yang sama-sama enak, sama-sama menarik, sama-sama penting buat kita, ada kalanya kita tidak bisa memilikinya di saat yang bersamaan.
Kita perlu tahu mana keinginan kita yang esensial, mana yang komplementer. Mana yang mendesak, mana yang bisa ditunda.
Terdengar simpel, tapi toh nyatanya banyak orang yang melupakan tentang skala prioritas.
Contoh simpel saja, mungkin ada yang tidak setuju, kredit. Tentu tidak bisa dipukulrata tapi banyak yang memanfaatkan fasilitas kredit untuk memenuhi keinginannya. Beli dulu, bayarnya nyicil. Padahal kalau dilihat apa yang dikreditkan bukan sesuatu yang penting, handphone misalnya.
Yah itu menurut pendapat saya sih. Saya tahu banyak orang yang menganggap kredit adalah hal yang wajar/lumrah. Jangan salah, sistem kredit memang diperlukan untuk meringankan beban. Tapi kalau kredit sudah jadi budaya, apa-apa dikreditkan, saya tidak berpikir itu hal yang baik.
Well, sampai sekarang saya masih lebih suka kehilangan uang di depan tapi gaji tiap bulan masih utuh. Dibandingkan hilangnya dikit-dikit tapi rutin.
Kembali lagi ke masalah prioritas. Ini bukan hanya soal materi. Ada banyak hal yang memerlukan prioritas. Memilih pekerjaan misalnya. Atau memilih lokasi rumah. Atau memilih sekolah untuk anak.
Memaksakan untuk mencentang semua hal yang kita inginkan hanya akan menimbulkan frustasi di saat keadaannya memang tidak memungkinkan. Sedikit trade-off saya rasa tidak akan terlalu berbahaya. Sedikit fleksibilitas akan bisa mengurangi beban pikiran.
Keep it simple.
Komentar
Posting Komentar