Anggap saja ini peringatan 1 tahun bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang off-shore development.
Kepikiran nulis ini setelah ngobrol singkat di Whatsapp dengan seorang teman yang ingin kembali ke Jogja. Lho emang apa hubungannya? Panjang ceritanya, yang jelas mari kita sedikit ngomongin working remotely atau yang disebut juga telecommuting.
Kalau kantor saya sendiri karena off-shore development jelas kerjanya remote. Klien di mana, kami di mana. Kantor saya yang sekarang punya 4 kantor di 4 kota berbeda. Ya remotenya kantor saya memang sebatas remote antara tim pengembang dan klien. Kami masih harus datang ke kantor di jam kerja yang sudah ditentukan.
Sebelum bekerja di kantor yang sekarang saya sudah lebih dulu bekerja di 3 perusahaan yang berbeda. Perbedaan yang paling mencolok adalah di kantor ini saya tidak hanya dibekali PC/laptop seperti halnya di 3 kantor sebelumnya tetapi juga ada 1 item lagi, yaitu headset. Walaupun bisa digunakan untuk mendengarkan Spotify tapi tujuan utamanya adalah untuk mendukung komunikasi.
Yup. Komunikasi adalah hal yang penting dan krusial dalam telecommuting. Oleh sebab itu segala hal yang mendukung komunikasi tersebut pun menjadi sama pentingnya. Contohnya headset, koneksi internet, aplikasi untuk melakukan conference call, dan lain sebagainya. Bukan cuma masalah fasilitas komunikasi, bagaimana cara kita berkomunikasi--menyatakan, menanyakan, atau menjelaskan sesuatu--juga penting.
Tapi telecommuting bukan sekedar cara bekerja. Telecommuting adalah suatu budaya. Karena sekalipun mungkin hanya dilakukan sebagian individu dalam suatu organisasi, tapi semua orang di dalam organisasi tersebut harus menyadari dan memahami konsep telecommuting yang mereka adopsi.
Ya kan gak lucu kalau yang satu kerjanya remote terus yang lainnya bilang,"aku gak bisa ngerti kalau cuma dijelasin lewat telepon." Gak kelar-kelar dong proyeknya.
Bahkan konsep tersebut pada titik tertentu harus dipahami juga oleh kelompok luar yang berhubungan dengan organisasi tersebut. Klien misalnya.
Kantor mengadopsi telecommuting tapi klien tahunya yang namanya rapat itu ngumpul di suatu ruangan, duduknya melingkar, dapat snack dan minuman, ya gak nyambung jadinya.
Sejauh yang saya tahu beberapa perusahaan di Indonesia mulai menerapkan working remotely seperti membuka kantor di kota lain. Tapi perusahaan yang benar-benar menerapkan telecommuting, tidak terbatas ruang dan waktu, biasanya startup dari luar negeri. Ada juga sih pernah dengar startup Indonesia yang punya budaya telecommuting.
Ada juga yang pasti remote kerjanya, freelancer. Freelance job yang banyak tersedia melalui situs-situs freelancer setahu saya hampir pasti remote.
Working remotely ditambah dengan flexible working hour, buat saya itu terdengar sangat menyenangkan.
Kepikiran nulis ini setelah ngobrol singkat di Whatsapp dengan seorang teman yang ingin kembali ke Jogja. Lho emang apa hubungannya? Panjang ceritanya, yang jelas mari kita sedikit ngomongin working remotely atau yang disebut juga telecommuting.
Kalau kantor saya sendiri karena off-shore development jelas kerjanya remote. Klien di mana, kami di mana. Kantor saya yang sekarang punya 4 kantor di 4 kota berbeda. Ya remotenya kantor saya memang sebatas remote antara tim pengembang dan klien. Kami masih harus datang ke kantor di jam kerja yang sudah ditentukan.
Sebelum bekerja di kantor yang sekarang saya sudah lebih dulu bekerja di 3 perusahaan yang berbeda. Perbedaan yang paling mencolok adalah di kantor ini saya tidak hanya dibekali PC/laptop seperti halnya di 3 kantor sebelumnya tetapi juga ada 1 item lagi, yaitu headset. Walaupun bisa digunakan untuk mendengarkan Spotify tapi tujuan utamanya adalah untuk mendukung komunikasi.
Yup. Komunikasi adalah hal yang penting dan krusial dalam telecommuting. Oleh sebab itu segala hal yang mendukung komunikasi tersebut pun menjadi sama pentingnya. Contohnya headset, koneksi internet, aplikasi untuk melakukan conference call, dan lain sebagainya. Bukan cuma masalah fasilitas komunikasi, bagaimana cara kita berkomunikasi--menyatakan, menanyakan, atau menjelaskan sesuatu--juga penting.
Tapi telecommuting bukan sekedar cara bekerja. Telecommuting adalah suatu budaya. Karena sekalipun mungkin hanya dilakukan sebagian individu dalam suatu organisasi, tapi semua orang di dalam organisasi tersebut harus menyadari dan memahami konsep telecommuting yang mereka adopsi.
Ya kan gak lucu kalau yang satu kerjanya remote terus yang lainnya bilang,"aku gak bisa ngerti kalau cuma dijelasin lewat telepon." Gak kelar-kelar dong proyeknya.
Bahkan konsep tersebut pada titik tertentu harus dipahami juga oleh kelompok luar yang berhubungan dengan organisasi tersebut. Klien misalnya.
Kantor mengadopsi telecommuting tapi klien tahunya yang namanya rapat itu ngumpul di suatu ruangan, duduknya melingkar, dapat snack dan minuman, ya gak nyambung jadinya.
Sejauh yang saya tahu beberapa perusahaan di Indonesia mulai menerapkan working remotely seperti membuka kantor di kota lain. Tapi perusahaan yang benar-benar menerapkan telecommuting, tidak terbatas ruang dan waktu, biasanya startup dari luar negeri. Ada juga sih pernah dengar startup Indonesia yang punya budaya telecommuting.
Ada juga yang pasti remote kerjanya, freelancer. Freelance job yang banyak tersedia melalui situs-situs freelancer setahu saya hampir pasti remote.
Working remotely ditambah dengan flexible working hour, buat saya itu terdengar sangat menyenangkan.
Komentar
Posting Komentar