'Harus' is a strong word. Dan menjalani kehidupan yang dipenuhi kata 'harus' itu sungguh melelahkan. Karena nyatanya kata 'harus' tidak hanya menambah tekanan pada kalimat tapi juga pada hidup.
Harus jadi PNS
Harus lulus tepat waktu
Kata 'harus' jika digunakan dengan kadar yang tepat dan bijaksana bisa menghasilkan motivasi. Lebih dari itu bisa menimbulkan efek samping yang cukup berbahaya berupa penyempitan pikiran dan hati.
Menambahkan kata 'harus' tidak akan pernah mampu mengubah kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kata tersebut justru mampu mengubah persepsi dan perspektif orang terhadap kenyataan.
Tidak sedikit orang yang menganggap hal-hal yang terjadi di luar keharusan-keharusan yang dibangunnya sebagai sebuah kesalahan, bahkan lebih buruk lagi, sebagai sebuah tragedi dalam hidup.
Pernah lihat orang yang gagal di sebuah audisi menangis tersedu-sedu dan mengatakan jurinya jahat atau tidak kompeten? Itu salah satu contohnya.
Pernah lihat drama Sky Castle yang baru saja tamat? Itu contoh lain dari pola pikir yang terdistorsi karena keharusan yang dimiliki.
Kenapa harus?
Di sinilah kemudian kata 'tidak' menjadi terdengar manis dan menenangkan. Meringankan tekanan yang diberikan oleh kata 'harus'.
Tapi menambahkan kata 'tidak' di depan kata 'harus' bukan perkara yang semudah membalikkan telapak tangan. Kadang perlu merelakan gairah (passion), ambisi, dan obsesi, yang bagi sebagian orang itu adalah segalanya.
Saya rasa tidak ada salahnya merelakan beberapa gairah, ambisi, dan obsesi. Bukankah ketiga kata tersebut tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk bahagia. Tapi yang paling benar minta sukacita dari Tuhan, sukacita yang melampaui segala akal dan pikiran.
Jadi, kenapa harus?
Harus jadi PNS
Harus lulus tepat waktu
Kata 'harus' jika digunakan dengan kadar yang tepat dan bijaksana bisa menghasilkan motivasi. Lebih dari itu bisa menimbulkan efek samping yang cukup berbahaya berupa penyempitan pikiran dan hati.
Menambahkan kata 'harus' tidak akan pernah mampu mengubah kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kata tersebut justru mampu mengubah persepsi dan perspektif orang terhadap kenyataan.
Tidak sedikit orang yang menganggap hal-hal yang terjadi di luar keharusan-keharusan yang dibangunnya sebagai sebuah kesalahan, bahkan lebih buruk lagi, sebagai sebuah tragedi dalam hidup.
Pernah lihat orang yang gagal di sebuah audisi menangis tersedu-sedu dan mengatakan jurinya jahat atau tidak kompeten? Itu salah satu contohnya.
Pernah lihat drama Sky Castle yang baru saja tamat? Itu contoh lain dari pola pikir yang terdistorsi karena keharusan yang dimiliki.
Kenapa harus?
Di sinilah kemudian kata 'tidak' menjadi terdengar manis dan menenangkan. Meringankan tekanan yang diberikan oleh kata 'harus'.
Tapi menambahkan kata 'tidak' di depan kata 'harus' bukan perkara yang semudah membalikkan telapak tangan. Kadang perlu merelakan gairah (passion), ambisi, dan obsesi, yang bagi sebagian orang itu adalah segalanya.
Saya rasa tidak ada salahnya merelakan beberapa gairah, ambisi, dan obsesi. Bukankah ketiga kata tersebut tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk bahagia. Tapi yang paling benar minta sukacita dari Tuhan, sukacita yang melampaui segala akal dan pikiran.
Jadi, kenapa harus?
Komentar
Posting Komentar