Salary Transparency, Wage Discrepancy, and Fair Pay Policy

Meskipun bisa saling terkait, tapi ketiga hal tersebut merupakan masalah yang berbeda. Saya akan membahasnya melalui tulisan ini. Saya karyawan biasa, jadi anggaplah ini opini amatir berdasarkan pengalaman dan pengamatan seorang karyawan biasa.

Saya pernah bekerja di perusahaan yang tidak ada transparansi terkait nominal gaji tiap-tiap karyawan. Saat itu saya dan beberapa orang yang tergabung dalam 1 batch rekrutmen mengawali karir kami saat probation dengan nominal gaji yang sama. Selepas probation kami mendapat salary appraisal yang jumlahnya berbeda-beda (tentu saja kami tahu karena kami membicarakannya). Di perusahaan itu juga saya mengalami salary appraisal dadakan di pertengahan tahun. Ditambah dengan counter offer berupa salary appraisal ~20% saat mengajukan resign, 1 bulan setelah appraisal dadakan.

Ternyata sistem gaji tertutup seperti itu memberi fleksibilitas bagi perusahaan dalam menentukan gaji karyawan. Meskipun saya yakin mereka punya guidelines dalam penentuan gaji. Fleksibilitas ini yang kemudian banyak dipermasalahkan. Hal semacam ini menyebabkan adanya wage discrepancy atau pay gap yang mana akan menjadi isu sangat sensitif jika ternyata ada kaitannya dengan gender, ras, agama, atau faktor eksternal lainnya. Dengan kata lain, hal tersebut memberi ruang untuk terjadinya diskriminasi.

Saya juga pernah bekerja di perusahaan yang menerapkan salary transparency meskipun tidak sepenuhnya. Karyawan diberi akses untuk melihat salary table untuk job groupnya, tidak untuk job group lain. Selain itu perusahaan tersebut juga menerapkan equal pay, orang dengan grade yang sama pasti memiliki gaji yang sama. Pasti di sini karena salary tablenya berisi nominal pasti, bukan berupa range dengan batas atas dan bawah.

Sistem yang demikian menyederhanakan beberapa hal, salah satunya job offering. Hampir tidak ada ruang untuk negosiasi gaji. Kalau pun ada, alih-alih negosiasi terhadap gaji, di sisi perusahaan negosiasi dilakukan terhadap grade kandidat, apakah masih memungkinkan kandidat diberi grade sesuai gaji yang diminta oleh kandidat. Selain itu dengan salary table yang bisa diakses karyawan sedikit banyak menjadi motivasi karyawan untuk mengejar jenjang yang lebih baik. Karena selain salary appraisal tahunan tidak ada cara lain untuk mendapatkan kenaikan gaji jika tidak melalui kenaikan grade (promosi).

Lalu, apakah equal pay = fair pay?

Jika A & B masuk ke perusahaan yang sama untuk mengisi posisi yang sama dengan level yang sama dan A & B mendapat gaji yang sama maka itu berarti equal.

Jika A ditempatkan di Jakarta dan B ditempatkan di Yogyakarta, itu tetap equal, tapi apakah fair? Jika dihitung rasio dengan UMR, gaji A tentu lebih rendah dibandingkan gaji B.

Jika kemudian perusahaan menyamakan rasionya, itu tidak equal, tapi mungkin fair. Tapi bagaimana jika ternyata A dan B mengerjakan proyek yang sama dengan tanggung jawab yang sama? Apakah itu fair?

Equal is logical. Fair is emotional. In my opinion.

Karena itu sangat mudah untuk menentukan equal, tapi menjustifikasi bahwa sesuatu itu fair itu yang sulit.

Salary transparency digaungkan utamanya untuk menghilangkan wage discrepancy atau pay gap yang muncul karena diskriminasi. Fair pay bukanlah tujuan, justru fair pay adalah landasan terciptanya salary transparency. Menurut saya, equal pay bukanlah silver bullet untuk menciptakan fair pay. Pay gap boleh saja ada asalkan jelas apa, mengapa, dan bagaimana selisih itu bisa terjadi.

Mengutip tulisan Jacobs,"If employers are considering transparency, they need to be clear about job roles and justifications for pay differences and rewards."

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Zenger dalam tulisan Cooney yang dimuat dalam Time.com. Lebih lanjut Zenger memberikan saran, alih-alih menitikberatkan transparansi pada angka, lebih baik memberikan transparansi pada proses untuk menentukan angka tersebut.

Bagi perusahaan dengan sistem gaji tertutup, memutuskan untuk menerapkan salary transparency membutuhkan proses yang tidak mudah dan tidak instan. Magner menceritakan bagaimana perusahaan Molly Moon memulai langkahnya dengan menghabiskan waktu selama setahun untuk menganalisa kesenjangan gaji yang ada di dalam perusahaan dan mencari cara untuk mengatasinya. Analisa tersebut membuat Molly Moon mengambil kebijakan baru terkait gaji dan juga operasional bisnis perusahaannya, salah satunya dengan menghapus sistem tipping.

Cerita tersebut menegaskan apa yang saya tulis di atas, salary transparency adalah sebuah tujuan dan untuk meraihnya ada hal-hal yang harus dibenahi terlebih dahulu. Cerita tersebut juga menunjukkan bahwa salary transparency tidak semata soal gaji dan nominalnya, tapi juga tentang budaya yang dianut oleh perusahaan.

Meski salary transparency tetap saja memiliki efek negatif, saya setuju bahwa salary transparency adalah hal yang layak untuk diterapkan. Tentunya bukan salary transparency model karyawan-ke-karyawan yang mungkin dilakukan di kantin atau warung makan, tapi perusahaan-ke-karyawan.


Referensi

Wong, K., 2019, Want to Close the Pay Gap? Pay Transparency Will Help, The New York Times

Jacobs, E., 2019, Why radical transparency about salaries can pay off, Financial Times

Cooney, S., 2018, Should You Share Your Salary With Co-Workers? Here’s What Experts Say, Time

Magner, E., 2019, Salary Transparency Is Key to the Future of Workplace Wellness, Well+Good

Komentar