Kalau kalian pernah baca post-post saya sebelum ini mungkin sudah beberapa kali saya singgung kalau saya pernah merantau ke Jakarta. Saya rasa saya juga sudah sempat menyinggung kenapa saya memutuskan hengkang dari Jakarta. Ya, keluarga memang faktor utama kenapa saya memilih meninggalkan keluarga. Kali ini saya mau bercerita pengalaman saya di Jakarta.
Tahun 2013 saya merantau ke Jakarta karena diterima kerja di sebuah perusahaan IT. Saya tinggal di daerah Kuningan sampai tahun 2015 kemudian pindah ke Depok untuk kuliah dan juga masih bekerja.
Yang paling menarik perhatian saya pertama kali adalah bagaimana orang-orang Jakarta berjalan dengan langkah yang cepat. Yup, mengejar busway, mengejar jam masuk kantor, mengejar jam pulang, semakin hari semakin terbiasa dan mulai membiasakan diri juga.
Waktu itu kost saya ada di belakang kantor, hanya saja kemudian saya diassign onsite yang mengharuskan saya naik Kopaja untuk sampai ke klien. Paling apes yang pernah saya alami di Kopaja adalah kehilangan handphone Nokia Asha 311 warna hitam, hilang begitu saja tanpa saya sadari. Tapi di Kopaja saya menemui banyak hal. Mulai dari cowok yang saya lihat handphonenya membuka aplikasi gay, seorang bapak yang sedang berusaha berdamai dengan istrinya karena "selingkuh" (saya sempat melihat isi percakapan SMS mereka), pengamen biola, pengamen wanita dengan suara ala-ala Mary J. Blige, sampai orasi. Jujur baru di Jakarta saya menemui model "mengamen" dengan orasi.
Banjir? Puji Tuhan hanya sekali saya merasakan dampak banjir. Itu pun saat mau ke tempat klien, bukan di lingkungan kost. Karena terjebak banjir itu pula kemudian untuk pertama kalinya saya naik bajaj cuma agar bisa sampai di klien. Dan ternyata kantor klien pun terkena banjir tapi pekerjaan harus tetap berjalan. Warung makan depan kantor klien juga tetap buka. Mungkin mereka sudah biasa, entah.
Di Jakarta mungkin hampir semua ada. Mau barang yang murah, mahal, mewah, limited ada. Kata orang, di Jakarta banyak uangnya. Mau kerja di perusahaan kecil, besar, nasional, multinasional pun ada. Bidang usahanya pun sangat amat beragam. Sesuatu yang saya rasa sulit disaingi oleh kota-kota lain. Banyak sekali event diselenggarakan di Jakarta. Pameran buku, pameran pendidikan, konser-konser, festival film, semua ada. Saya baru pertama kali ke pameran pendidikan internasional itu ya di Jakarta. Pernah nonton gratis di festival film Eropa, lupa nama eventnya. Selama di Jakarta saya juga jadi lebih sering nonton, mau nonton pun pilihan bioskopnya beragam. Memangnya Magelang bioskop cuma satu hahaha.
Kuliner? Beuh gak perlu ditanya kalau itu. Di Jakarta saya semakin akrab dengan makanan seperti pizza dan burger yang sebelum ke Jakarta gak pernah saya rasakan. Maklum, dari kampung. Di Jogja pun hanya sebatas penyetan, nasi padang, angkringan, burjo, dan warteg. Oh iya, di Jakarta gak ada penyet telor hahaha. Terus saya masih sering bingung kalau orang bilang pecel lele, di bayangan saya pasti pecel bumbu kacang khas Jawa Timur itu ditambah lele, ya padahal sih penyet lele lah gampangannya. Gak ngerti kenapa bisa pengertian kata 'pecel' beda jauh.
Kalau dibilang biaya hidup di Jakarta itu mahal ya ada benernya sih. Cuma masih lebih mahal gaya hidup dan gengsinya. Tergantung ke pribadinya kok. Kan di atas sudah saya bilang, hampir semua ada, ya silakan tinggal menyesuaikan kalian mau hidupnya gaya apa. Dan sangat mungkin ini didrive oleh lingkungan.
Macet? Wah sampai muak merasakannya. Saya benar-benar merasakan efek macet setelah saya kerja di Depok. Pernah saya meeting di klien sampai malam. Kalau sudah begitu pilihannya cuma 2, kalau mau cepat ya naik KRL yang sesaknya seperti itu, kalau mau nyaman ya naik taksi yang macetnya seperti itu. Biasanya saya pilih taksi supaya bisa tidur. Pernah dari klien sampai kantor menghabiskan waktu 3 jam. Ungkapan "tua di jalan" itu ya ada benarnya ternyata.
Selama di Jakarta saya juga tetap gak biasa menggunakan kata "loe gue". Saya lebih nyaman menyebut "aku kau". Mungkin hanya sesekali saja kalau lagi bercanda. Saya juga gak pernah menikmati dunia malam Jakarta. Pernah sih sampai tengah malam masih jalan-jalan hahaha. Gak termasuk itu sih. Maksud saya dunia malam macam klub dan sebagainya. Puji Tuhan gak. Bersyukur? Iya, buat saya sih itu keuntungan, gak pernah mencicipi dunia malam. Dibilang katrok yowis ben.
Saya juga gak terbiasa bawa motor di Jakarta. Saya paling malas malah bawa motor di Jakarta. Pertama karena saya gak familiar dengan jalanan ibu kota, kedua karena arus lalu lintasnya terlalu ramai buat saya. Saya bawa motor di Jakarta setelah saya di Depok dan itupun cuma untuk ke kost pacar saya dan ke gereja saja. Kalau ada janji ketemuan dengan teman-teman di Jakarta saya lebih milih KRL atau busway (atau ojek online).
Hmmm...
Dulu saya juga sempat takut sebelum datang ke Jakarta karena mendengar cerita Jakarta yang seperti itu seperti ini. Tapi ya puji Tuhan, 2 tahun di Jakarta, 2 tahun di Depok dan saya bertahan hidup hahaha. Kata orang what doesn't kill you makes you stronger. And I guess it does, maybe.
Yah seperti judul post ini, Jakarta is such a great city. It offers you many things, many possibilities. But I guess it is just not for everyone. Definitely not for me, and for some people I know. Ternyata ada kawan saya yang juga memutuskan kembali ke kampung halaman bersamaan dengan saya. Sekarang kami sama-sama gawe di Jogja.
Merantau itu perlu, buat pengalaman, toh kapan pun mau selalu bisa kembali. Menurut saya sih, gak tau menurut mas Anang.
Tahun 2013 saya merantau ke Jakarta karena diterima kerja di sebuah perusahaan IT. Saya tinggal di daerah Kuningan sampai tahun 2015 kemudian pindah ke Depok untuk kuliah dan juga masih bekerja.
Yang paling menarik perhatian saya pertama kali adalah bagaimana orang-orang Jakarta berjalan dengan langkah yang cepat. Yup, mengejar busway, mengejar jam masuk kantor, mengejar jam pulang, semakin hari semakin terbiasa dan mulai membiasakan diri juga.
Waktu itu kost saya ada di belakang kantor, hanya saja kemudian saya diassign onsite yang mengharuskan saya naik Kopaja untuk sampai ke klien. Paling apes yang pernah saya alami di Kopaja adalah kehilangan handphone Nokia Asha 311 warna hitam, hilang begitu saja tanpa saya sadari. Tapi di Kopaja saya menemui banyak hal. Mulai dari cowok yang saya lihat handphonenya membuka aplikasi gay, seorang bapak yang sedang berusaha berdamai dengan istrinya karena "selingkuh" (saya sempat melihat isi percakapan SMS mereka), pengamen biola, pengamen wanita dengan suara ala-ala Mary J. Blige, sampai orasi. Jujur baru di Jakarta saya menemui model "mengamen" dengan orasi.
Banjir? Puji Tuhan hanya sekali saya merasakan dampak banjir. Itu pun saat mau ke tempat klien, bukan di lingkungan kost. Karena terjebak banjir itu pula kemudian untuk pertama kalinya saya naik bajaj cuma agar bisa sampai di klien. Dan ternyata kantor klien pun terkena banjir tapi pekerjaan harus tetap berjalan. Warung makan depan kantor klien juga tetap buka. Mungkin mereka sudah biasa, entah.
Di Jakarta mungkin hampir semua ada. Mau barang yang murah, mahal, mewah, limited ada. Kata orang, di Jakarta banyak uangnya. Mau kerja di perusahaan kecil, besar, nasional, multinasional pun ada. Bidang usahanya pun sangat amat beragam. Sesuatu yang saya rasa sulit disaingi oleh kota-kota lain. Banyak sekali event diselenggarakan di Jakarta. Pameran buku, pameran pendidikan, konser-konser, festival film, semua ada. Saya baru pertama kali ke pameran pendidikan internasional itu ya di Jakarta. Pernah nonton gratis di festival film Eropa, lupa nama eventnya. Selama di Jakarta saya juga jadi lebih sering nonton, mau nonton pun pilihan bioskopnya beragam. Memangnya Magelang bioskop cuma satu hahaha.
Kuliner? Beuh gak perlu ditanya kalau itu. Di Jakarta saya semakin akrab dengan makanan seperti pizza dan burger yang sebelum ke Jakarta gak pernah saya rasakan. Maklum, dari kampung. Di Jogja pun hanya sebatas penyetan, nasi padang, angkringan, burjo, dan warteg. Oh iya, di Jakarta gak ada penyet telor hahaha. Terus saya masih sering bingung kalau orang bilang pecel lele, di bayangan saya pasti pecel bumbu kacang khas Jawa Timur itu ditambah lele, ya padahal sih penyet lele lah gampangannya. Gak ngerti kenapa bisa pengertian kata 'pecel' beda jauh.
Kalau dibilang biaya hidup di Jakarta itu mahal ya ada benernya sih. Cuma masih lebih mahal gaya hidup dan gengsinya. Tergantung ke pribadinya kok. Kan di atas sudah saya bilang, hampir semua ada, ya silakan tinggal menyesuaikan kalian mau hidupnya gaya apa. Dan sangat mungkin ini didrive oleh lingkungan.
Macet? Wah sampai muak merasakannya. Saya benar-benar merasakan efek macet setelah saya kerja di Depok. Pernah saya meeting di klien sampai malam. Kalau sudah begitu pilihannya cuma 2, kalau mau cepat ya naik KRL yang sesaknya seperti itu, kalau mau nyaman ya naik taksi yang macetnya seperti itu. Biasanya saya pilih taksi supaya bisa tidur. Pernah dari klien sampai kantor menghabiskan waktu 3 jam. Ungkapan "tua di jalan" itu ya ada benarnya ternyata.
Selama di Jakarta saya juga tetap gak biasa menggunakan kata "loe gue". Saya lebih nyaman menyebut "aku kau". Mungkin hanya sesekali saja kalau lagi bercanda. Saya juga gak pernah menikmati dunia malam Jakarta. Pernah sih sampai tengah malam masih jalan-jalan hahaha. Gak termasuk itu sih. Maksud saya dunia malam macam klub dan sebagainya. Puji Tuhan gak. Bersyukur? Iya, buat saya sih itu keuntungan, gak pernah mencicipi dunia malam. Dibilang katrok yowis ben.
Saya juga gak terbiasa bawa motor di Jakarta. Saya paling malas malah bawa motor di Jakarta. Pertama karena saya gak familiar dengan jalanan ibu kota, kedua karena arus lalu lintasnya terlalu ramai buat saya. Saya bawa motor di Jakarta setelah saya di Depok dan itupun cuma untuk ke kost pacar saya dan ke gereja saja. Kalau ada janji ketemuan dengan teman-teman di Jakarta saya lebih milih KRL atau busway (atau ojek online).
Hmmm...
Dulu saya juga sempat takut sebelum datang ke Jakarta karena mendengar cerita Jakarta yang seperti itu seperti ini. Tapi ya puji Tuhan, 2 tahun di Jakarta, 2 tahun di Depok dan saya bertahan hidup hahaha. Kata orang what doesn't kill you makes you stronger. And I guess it does, maybe.
Yah seperti judul post ini, Jakarta is such a great city. It offers you many things, many possibilities. But I guess it is just not for everyone. Definitely not for me, and for some people I know. Ternyata ada kawan saya yang juga memutuskan kembali ke kampung halaman bersamaan dengan saya. Sekarang kami sama-sama gawe di Jogja.
Merantau itu perlu, buat pengalaman, toh kapan pun mau selalu bisa kembali. Menurut saya sih, gak tau menurut mas Anang.
Komentar
Posting Komentar